Sunday 29 July 2012

Persembahkan Hidup untuk Tuhan!


Semenjak kecil, ada beberapa hal yang sangat aku takutkan. Satu di antaranya adalah merasa kesepian. Aku sangat takut dan sedih saat berada dalam kondisi kesepian. Kondisi itu terus ada hingga saat ini. Aku masih terus ketakutan merasa kesepian. Biasanya, untuk menghindari itu, aku pergi mencari teman. Saat bersama teman, aku terhindar dari rasa sepi. Aku pun merasa nyaman.

Namun saat ini, situasi berubah. Semua kejadian dalam hidupku mengkondisikan aku untuk hidup dan berjuang sendirian. Saat ini aku bekerja sambil kuliah, sehingga tidak bisa lagi berada bersama teman-teman di kampus yang fokus berkuliah saja setiap harinya. Dalam beberapa hari ke depan, seorang teman dekat yang paling mengerti aku pun akan pergi meninggalkan Jakarta.

Dua hal itu sangat besar pengaruhnya padaku. Perasaan kesepian menyelimutiku. Aku tidak bisa berfokus pada pekerjaan dengan baik. Rasa sesak memenuhi dadaku. Bahkan membuka mata selepas tidur pun aku takut. Kegiatanku hari demi hari penuh dengan perasaan cemas, takut, dan terutama sedih. Pikiran akan kesepian selalu membuatku sedih. Aku tidak bersemangat sama sekali.

Setiap kali mandi, gebyuran air dingin selalu membuat perasaan di dadaku makin sesak. Aku memegang ponsel setiap saat. Berharap ada kontak dari teman terdekatku. Aku sedih. Aku takut. Aku khawatir. Sedih, sedih, sedih, dan sedih. Terus begitu.

Sudah beberapa kali aku men-share perasaan ini ke teman terdekatku. Ia mengatakan bahwa ini hanyalah masalah waktu. “Nanti kamu juga akan terbiasa untuk berjuang sendirian. Sabar yaaa,” ujarnya menenangkanku dengan sangat sabar. Ia menyarankan supaya aku melakukan berbagai aktivitas tanpa mempedulikan rasa kesepian yang ada. “Cuekin aja perasaan itu,” ujarnya. Yaah, itu memang gampang untuk diucapkan, namun sungguh, teramat sulit untuk dilakukan.

Aku mencoba sekuat tenaga. Tiap kali pikiran dan perasaan sedih muncul, kucoba untuk tidak mempedulikannya. Aku terus melakukan aktivitas hari demi hari dengan mencoba cuek. Namun apa yang terjadi? Semakin kucoba untuk cuek, perasaan itu makin kuat. Bahkan Sabtu malam, saat aku mengiringi misa di gereja, pikiranku tak bisa lepas dari ketakutan akan kesepian itu.

Malam ini, aku kembali pergi mengikuti misa di gereja. Aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Akhirnya, meskipun sudah mengikuti misa sehari sebelumnya, aku kembali datang ke gereja. Saat membuat tanda salib di pintu gereja, dengan pandangan lurus ke arah salib di atas altar, aku terhenyak. Dadaku terasa sesak sekali hingga aku ingin menangis. Aku melihat seorang biarawati duduk dengan sangat tenang. Aku pun duduk di sebelahnya.

Misa dimulai. Aku tak bisa menahan air mataku lagi. Perasaan sesak di dada semakin memuncak. Aku pun menangis. Hampir sepanjang misa air mataku keluar.

Saat menyanyikan lagu Tuhan Kasihanilah Kami, hatiku merasa sangat remuk. Sambil terus meneteskan air mata, aku mencoba menyanyikan lagu itu. “Tuhan, kasihanilah kami. Tuhan, kasihanilah kami. Kristus, kasihanilah kami. Kristus, kasihanilah kami,” aku mencoba bernyanyi. Aku merasa ingin sekali berteriak pada Yesus,”Yesus, tolong kasihanilah aku. Tolong, Yesus!” Aku benar-benar tak kuasa menahan tangis. Perasaan takut akan kesepian yang sudah memuncak langsung meledak saat aku menyanyikan lagu itu.

Romo berkhotbah. Pesannya sangat jelas, bahwa manusia harus mau untuk terus berbagi kepada sesama bahkan di dalam kondisi kekurangannya. Aku merasa sangat nyaman dengan pesan itu. Kondisiku sekarang adalah kondisi kekuranganku. Aku lemah dalam perjuangan untuk hidup sendirian. Dan dalam kelemahanku ini, all I’ve got to do is memberi dan mempersembahkan hidupku untuk Tuhan. Lewat pekerjaanku, lewat kuliahku. Aku harus memberi di dalam kekuranganku.

Khotbah Romo itu membuatku merasa jauh lebih tenang. Aku seperti mengerti harus berpikir apa, merasa apa, dan melakukan apa. Sederhana sekali. Aku hanya harus terus mencoba untuk memberi di dalam kekuranganku. Terima kasih, Romo.

Misa selesai. Aku berjalan pulang. Badanku terasa sangat lemas, tapi lega sekali. Aku benar-benar berterima kasih atas kesempatan mengikuti misa. Aku merasa sangat lega. Perasaan sesak di dada perlahan memudar. Semua ini tak lepas dari dukungan dan doa dari saudara dan teman-teman terdekatku. Aku yakin itu.

Terima kasih sudah membaca, Saudaraku. Kan kucoba tuk terus memberi dan mempersembahkan hidup untuk Tuhan.

Salam persembahan!

2 comments:

  1. Syukurr..Akhire kw menemukan jawabane...
    Sing iso menenangkan n menentramkan..
    aku melu seneng n tenang..
    *mengutip lagunya sule OVJ "smile you don't cry"
    :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kang Muh, matur nuwun yo wes moco tulisanku. Nuwuuuuuun banget.. =)

      Delete