Jakarta akan menjadi jauh lebih nyaman apabila tidak ada banjir, Saudara!
Percayalah!
Sekitar pukul 20.30, aku masih ngendon
di kampus. Baru aja selesai belajar manajemen keuangan sama temenku.
Tiba-tiba, breeesss, ujan turun agak
deras. Cepat-cepat kukemasi semua barang-barangku. Ga lupa aku minta kantong
plastik ke karyawan kampus untuk membungkus sepatu dan buku yang ga muat di tas.
Hujan tambah deras. Anginnya kenceeeeeeng banget.
“Buset deh! Aku belum sembuh total dari flu dan sekarang harus pulang
hujan-hujanan gini? Lucu banget kalo besok sampe parah lagi!” kataku. Tapi tetep
aja kuterabas hujan yang derasnya sumpah nyebelin itu.
Perjalanan dimulai.
Keluar dari kampus, bermodalkan jas hujan warna abu-abu, aku bergabung
dengan puluhan pengendara lain di jalan raya. “Wah, jalanan ga terlalu rame.
Syukur deh,” kataku dalam hati. Perjalanan dari kampus di Menteng sampai
Sarinah berjalan aman, kawan! Tanpa banjir dan tanpa macet. Tapi tunggu, bencana
datang setelah itu! Hehehe...
Hujan turun tambah deras. Untungnya angin kencang tidak menyertai. Nah,
tantangan berikutnya adalah derasnya hujan dan licinnya jalan! Ban depanku yang
sepertinya perlu di-stel velg itu terasa licin sekali. Aku sama sekali ga
berani jalan kenceng, takut kepleset di tengah jalan yang licin karena air
hujan itu.
Aku berkendara lewat Bank Indonesia, terus hingga keluar di Roxy. Daerah
Roxy yang biasanya macet, sekarang sungguh amat sangat nyaman. Pengendara
sepeda motor banyak yang berteduh, sehingga jalanan menjadi lancar. Saat melewati
Bank Indonesia, sempat-sempatnya aku berpikir demikian,”Saat paling nyaman
untuk berkendara sepeda motor di Jakarta adalah saat hujan deras! Kenapa? Sebab
sangat lancar, Saudara-saudara!” Sebuah pernyataan yang belakangan kusesali
sendiri!
Persis di akhir fly over Roxy terjadi
kemacetan parah. Kenapa? Entahlah, awalnya aku belum tahu penyebabnya. Setelah berjalan
sedikit maju, ternyata terjadi banjir yang teramat-sangat parah di depan. Semua
kendaraan berebut berjalan di sisi kanan, sebab lebih tinggi sehingga terhindar
dari banjir. Aku agak nekad berjalan di sisi tengah jalan raya. Ketinggian air
sekitar betis orang dewasa. “Tinggi sekali airnya, sial!” kataku. Aku sama sekali
tidak berani berjalan cepat. Kedua kakiku kuturunkan untuk menjaga keseimbangan,
terutama saat ombak datang akibat kendaraan lain yang lebih besar melintas.
Saat itu di sisi kanan, di dalam jalur bus Transjakarta kulihat sayap
sepeda motor bebek. Entah apa yang terjadi dengan sepeda motornya. Kurasa
terjadi kecelakaan kecil di situ. “Wah, banjir sudah memakan korban!” pikirku.
Sebuah sepeda motor besar melaju kencang di kananku. Tanpa basa-basi, ia
mencipratkan banyak air ke badanku. “Wuaah, terima kasih, sobat!” pikirku
kesal. Heran. Kenapa masih ada orang yang sama-sama berkendara di hujan teramat
deras tanpa memikirkan sesama pengendara? Menyebalkan!
Tidak lama, aku berhasil lepas dari banjir itu. Aku memutari Terminal
Grogol, dan masuk ke dalam sebuah perumahan menuju jalan raya Grogol. Parah!
Ternyata perumahan yang hampir semua rumahnya bagus itu justru mengalami banjir
yang jauh lebih parah. Pelan-pelan kukendarai sepeda motor malangku itu. “Waduh,
airnya jauh lebih tinggi ketimbang yang tadi,” keluhku. Kucoba turunkan kedua
kakiku. Ketinggian air mencapai paha. Suara dari knalpot terdengar ‘bluk-bluk-bluk’.
“Wadoouwhh, semoga air tidak masuk ke blok mesin!” harapku.
Sungguh saat-saat menegangkan yang menyebalkan. Sampah dan dedaunan banyak
mengapung di air. Tidak sedikit daun yang tersangkut di kakiku. Saat pahaku
terasa dingin terkena air banjir, saat itu pulalah aku merasa agak panik. “Semoga
motorku tidak mogok! Semoga motorku tidak mogok!” aku berharap-harap cemas.
Setelah melewati bagian yang paling parah, aku berbelok ke arah kiri yang
berakhir di jalan raya Grogol. Jalan itu juga mengalami banjir meski tidak
separah sebelumnya. Tanpa diduga, pintu di ujung jalan itu sudah ditutup! “Wah,
sial! Kenapa jam segini sudah ditutup!” kataku kesal. Pintu biasanya baru
ditutup setelah lewat jam 22.00. Mungkin banjir besar membuat warga ingin
mengurangi kendaraan yang masuk ke dalam perumahan. “Baiklah, aku harus memutar
sekarang!” kataku lagi.
Aku terpaksa melewati bagian banjir sepaha itu lagi. Sekali lagi aku
berharap mesin motorku tidak mogok akibat kemasukan air banjir. “Semogaaa..
Semogaaa... Semogaaaa,” doaku sepanjang banjir yang tinggi-menyebalkan itu.
Untung saja motorku selamat. Aku berhasil lepas dari banjir. Di depan, aku berpapasan
dengan angkot yang mogok. Beberapa orang penumpang masih menunggu di dalam
angkot. Sementara sang supir berusaha sekuat tenaga menghidupkan mesin mobil
lagi. Sungguh banjir memang menyebalkan!
Aku memilih rute lain di dalam perumahan itu. Setelah menemui rute yang pasti
bisa kulalui tanpa adanya halangan pintu-ditutup, aku berjalan lebih mantap.
Tidak kuduga, banjir yang sama tingginya menghadang. “Walah!” kataku.
Pelan-pelan kulalui jalan itu sambil kembali menurunkan kedua kaki. Sebuah truk
melaju dari depanku. Laju truk itu menghasilkan ombak besar yang berjalan
mantap ke arahku. Wuuussshhh! Aku bergoyang kencang saat ombak itu menabrakku. “Sialan!
Untung aku ga jatuh,” kataku kesal.
Akhirnya aku berhasil keluar dari perumahan yang ketinggian banjirnya luar
biasa itu. Aku memutari fly over Grogol
dan masuk ke dalam perumahan tempat aku nge-kos. Weit, pintu depan perumahan
juga ditutup sebagian. Rupanya perumahan itu juga kebanjiran. “Sialaaaaaan,
banjir di mana-mana padahal hujan deras baru turun sebentar!” aku mengumpat.
Untung banjir itu tidak panjang, hanya sebagian saja. Aku pun selamat sampai di
kos.
Huff, kesimpulan dari perjalanan malam ini adalah Jakarta Lebih Nyaman
Tanpa Banjir, Saudara!
Percayalah!
OOuuww masih banjir aja to ibukota.. kirain dah bebas soalnya baru2 ini jakarta mendapatkan piala adipura lhoo... (hehe rodo ngece iki)
ReplyDelete#laaah kualifikasi utk dapat adipura apa y... jd ga prestisius jatuhnya..
#unforgetable night :)
hahahaha! iya po, kang? wah, mungkin panitia penyeleksinya dateng pas siang ga hujan kang, jadi ga banjir deh..
ReplyDelete#argumen ga mutu