Friday 23 December 2011

Reborn. Natal.

Jakarta
Jumat, 16 Desember 2011
Satu minggu lebih dua hari sebelum Natal 2011, aku dan tiga teman pergi ke Gereja Kathedral, Jakarta. Waktu itu hari Jumat. Kita berencana untuk mengikuti pengakuan dosa. Kita berangkat dari kampus sore hari. Teman-temanku berangkat terlebih dulu, sementara aku menyusul.

Sampai di sana, aku sengaja mematikan handphone. Tidak asyik rasanya menduakan Gusti dengan BlackBerry. Aku mencari di manakah teman-temanku berada. Mereka bertiga duduk di pojok dekat pintu masuk, mengantri di salah satu ruang pengakuan dosa.

Aku mendekat. Namun tidak bergabung dengan mereka. Aku duduk di bangku kosong lainnya yang tidak menjadi bangku antrian. "Mas Inug, ayo sini ikut mengantri," ujar seorang temanku lewat BBM. "Hehe, aku di sini aja dulu," balasku. "Okaay. =)," jawabnya lagi.

Saat itu aku merasa belum mantap untuk mengikuti pengakuan dosa. Padahal hari itu adalah pengakuan dosa terakhir menjelang Hari Raya Natal. Aku duduk diam. Coba untuk berdoa. Doa apapun yang terlintas di kepalaku.

Kepalaku rasanya penuh sekali waktu itu. Penat. Hatiku juga tidak tenang. Kondisi yang tidak nyaman sekali. Badanku memang ada di dalam gereja itu, tapi pikiranku seperti melayang entah ke mana. Aku tidak tahu sedang memikirkan apa. Aku tidak tahu sedang merasa apa. Aku juga tidak tahu apa yang aku inginkan dan apa yang aku butuhkan. Aku seperti robot yang tidak sadar akan dirinya sendiri.

Akhirnya kuputuskan untuk tidak mengikuti pengakuan dosa. "Hmm, baiklah. Apakah Natal kali ini aku tidak mengaku dosa sama sekali? Entahlah," pikirku.


Yogyakarta
Sabtu, 24 Desember 2011
Aku bangun sekitar pukul 07.00. Ada satu tugas kuliah yang kubawa ke rumah dalam suasana libur (sial!). Kelompokku bersepakat akan mengumpulkan tugas itu pada Jumat, 23 Desember 2011. Aku melanggar kesepakatan itu. "Tugasku belum selesai, Guys!" kataku sambil menambahkan emoticon melet di grup BBM.

Aku butuh fasilitas internet yang ga lemot-lemot amat untuk mengerjakan tugas itu. Padahal, modem internet yang aku punya, berlari bak siput di rumah. So, aku melarikan diri ke Kampus Universitas Sanata Dharma, Mrican. (Yess, akhirnya bisa ke kampus ini lagi!)

Parkir motor di parkiran Kampus 1. Kampus 1 terletak persis di sebelah Kapel. "Weit, kapel kok rame ya? Ooh, persiapan misa Natal nanti malam," pikirku santai. "Emm, apa salahnya kalau aku mampir ke kapel dan berdoa? Ayo!" ajakku ke diri sendiri. Aku pun berjalan santai masuk ke dalam kapel. Beberapa mahasiswa asyik menghias gereja. Palungan tempat Yesus lahir sudah siap, bunga di depan altar sudah tersusun rapi, tapi kok paduan suara yang latihan malah berantakan nyanyinya? (Haha, that's an unimportant breaking news!)

Aku duduk di bangku belakang, memejamkan mata, dan mulai berdoa. Seperti biasa, kumulai doaku dengan ucapan syukur masih diberi umur panjang, kesehatan, kesempatan untuk belajar di Jakarta, terlebih lagi kesempatan untuk pulang ke Yogya.

Selesai berdoa, aku teringat sesuatu. "Aku belum mengaku dosa. Kenapa tidak sekarang saja aku mengaku dosa?" batinku. Aku ragu, cemas, juga takut (seperti biasa, inilah hal-hal yang terus mendominasi pikiranku di setiap tindakanku!) Kuambil Madah Bakti di bangku depanku. Kubuka halaman Doa Tobat. "Wah, aku sudah tidak hapal ternyata," kataku. Akhirnya kubaca lagi Doa Tobat itu pelan-pelan.

Aku membalik-balik halaman dan menemukan banyak doa lain yang rasanya tepat sekali kudoakan pagi itu. Semua doa yang rasanya mak jleb, kubaca saat itu juga. Ada beberapa kalimat yang bahkan membuatku sulit menahan air mata. (Sial! Masa nangis sih? Enggak kok, cuma berkaca-kaca aja!)

Aku membulatkan tekad untuk mengaku dosa. "Ini masih pagi hari, baru pukul 10.00. Seharusnya Romo di kampus masih ada. Aku harus mencari Romo untuk kuminta pengakuan dosa," tekadku.

Baiklah, apa yang harus aku persiapkan untuk mengaku dosa? Aku mencoba menenangkan diri.  "Kira-kira apa ya yang akan kuucapkan dalam pengakuan dosa nanti?" pikirku. Aku pun mengingat pengakuan dosa yang terakhir kulakukan. Semua dosa yang akan kuakui juga kupersiapkan. Aku ingin bisa menyampaikan semua hal dengan urut dan jelas, sehingga Romo bisa mengerti perasaanku. Dosa yang akan kusampaikan adalah ini-ini-ini. Hal itu terjadi karena aku begini-begini-begini. Oleh sebab itu, atas hasil refleksiku, aku mencoba untuk mengembangkan diri dengan begitu-begitu-begitu. Okay, mantap sudah!

Aku bangkit berdiri, berjalan keluar kapel dan mengetuk pintu dapur pasturan yang ada persis di sebelah kapel. Setelah mengutarakan maksudku pada seorang pekerja rumah tangga, ia mengarahkan aku untuk masuk dari pintu depan pasturan.

Hap! Langkahku mantap berjalan ke pintu depan pasturan. Belum sampai pintu depan, aku bertemu koster kapel. Kuutarakan lagi maksudku padanya. Namun ia mengatakan, semua Romo sudah pergi dari pasturan. Kalaupun masih ada yang tinggal, pasti ia sedang sibuk sebab akan bersiap pergi. "Ups! Sial! Bagaimana ini? Masa aku harus meminta tolong Romo di tempat lain? Aku lebih nyaman di sini!" pikirku. Aku tidak mau terima begitu saja. Aku tetap nekad berjalan menuju pintu depan pasturan.

Ting-tooong! Seorang karyawan membukakan pintu. Ia menanyakan maksud kedatanganku dan memintaku menunggu di ruang tunggu pasturan. Setelah beberapa menit,"Mas, Romo Ellias ada di kapel. Mas bisa coba menemui dia di sana." Baiklah, aku beranjak bangun dan bergegas mencarinya.

Aku mencari Romo Ellias di kapel, tapi semua orang yang sedang sibuk merias kapel mengatakan dia tidak ada di kapel. "Itu ada frater, Mas. Coba tanya frater!" kata seorang mahasiswa laki-laki gemuk berkacamata. "Frater! Saya bisa bertemu Romo Ellias?" kataku sambil mengutarakan maksudku yang rasanya jarang-jarang ada orang sepertiku. Frater yang aku belum kenal namanya itu tidak tahu di mana Romo Ellias berada, namun ia sangat membantuku dengan memberikan nomor kontak Romo Ellias.

"Halo, Romo Ellias?"
"Iya. Ini siapa?"

Aku pun menjelaskan siapa aku dan apa maksudku menghubunginya. Dia memintaku menunggu hingga 10.30. "Ah, hanya 20 menit. Aku bisa menunggu sambil berdoa di dalam kapel.

Tidak lama menunggu, Romo Ellias datang mengenakan kaus hitam dan celana panjang hitam. Ia membawa tas pinggang juga warna hitam. "Mari, Mas!" ajaknya sambil membuka pintu ruang pengakuan dosa.

Aku berlutut di ruang pengakuan dosa. Aku mengenakan jaket di ruangan kecil itu. Aku mulai berkeringat. Keringatku muncul sepertinya bukan karena udara panas, namun karena detak jantungku yang mencepat. Sejak awal aku terus memejamkan mata.

Semua hal yang sudah kusiapkan sebelumnya, kuutarakan pada Romo Ellias. Dia mendengarkan dengan tenang. Mataku terpejam, tapi entah kenapa aku merasa tenang dan yakin bahwa dia mendengarkanku sepenuhnya. Aku merasa tidak sendirian di sana. Aku sedang ditemani seorang Romo yang baru kali itu aku temui. Nyaman.

Awalnya kukira aku tidak akan kuat menyampaikan semua hal di pengakuan dosa. Kukira aku akan menangis. Tapi ternyata tidak. Keringat yang terus mengucur bersama detak jantung yang deg-degan lebih kuat menguasaiku. Kucoba menyampaikan semua hal secara pelan dan urut. Sebab apa yang ingin kusampaikan, semua merupakan satu kesatuan dan berasal dari satu penyebab, yaitu kelemahan di diriku sendiri.

Romo menjawab pengakuanku.

Dia memberkati aku.

Aku merasa lega.

Aku merasa seperti anak sombong yang akhirnya jatuh miskin dan terpaksa pulang ke Bapanya. Seperti sebuah kisah di Injil, Bapa pun membuka tangan lebar-lebar terhadap kepulangan anaknya itu. Bukannya menghukum, Bapa justru menyambut dan mengadakan pesta untuk anaknya itu.

Aku merasa baru. Reborn. Rasanya seperti terlahir kembali dengan hati dan pikiran yang lebih ringan.
Aku merasa baru saja lahir, ulang tahun, Natal.

2 comments: