Saturday 6 August 2011

Rudit Si Tikus yang Rajin

Seekor tikus kecil bernama Rudit tinggal di loteng bangunan tua bekas restoran cepat saji Mr. Sam. Ia tinggal bersama seorang temannya, seekor tikus dari Cina, Yen-Yin.

Setiap pagi, Rudit bangun lebih dulu dari Yen-Yin yang malas. Yen-Yin jarang bangun pagi. Dia selalu bangun siang hari saat Rudit sudah asyik bekerja di ladang menanam umbi-umbian.

Setelah mandi di wastafel dapur, Rudit membangunkan Yen-Yin.

"Yiiiin, bangun! Ayo bangun, Yin!"

Yen-Yin membuka mata. Ia malas beranjak dari tempat tidur yang terbuat dari tumpukan buku tulis bekas anak pemilik restoran.

"Hooaahem... Malaaass... Aku masih mengantuk. Zzz..."

Rudit menggelengkan kepala.

"Dasar tikus pemalas!"

Pelan-pelan ia menarik lengan Yen-Yin. Ia menggoyangkannya supaya Yen-Yin terbangun.

"Ayo bangun, Yin!"
"Masih malaaaaam.. Aku masih ngantuuuk, Dit..."
"Astaga, ini sudah pagi, Yen-Yin! Lihat matahari mulai terang!"
"Zzzz...."


Rudit meninggalkan Yen-Yin. Ia mengambil kemeja merah yang ia buat sendiri dari gorden restoran dan topi hitam peninggalan kakeknya.

Dia beranjak keluar bekas restoran. Sambil bersiul lagu Aku Seorang Kapiten, Rudit berjalan tegap seperti seorang tentara. Lucu sekali tingkahnya.

Di samping bekas restoran ada ladang tempat Rudit menanam umbi-umbian. Rudit mengambil cangkul, lalu mulai mencangkul. Dia memang tikus yang rajin.

Sekitar pukul 12.00 siang, matahari mulai meninggi. Udara semakin panas. Rudit mulai berkeringat dan merasa lelah.

"Fiuhh, sebaiknya aku beristirahat dulu."

Rudit berjalan ke tempat yang lebih teduh di belakang bekas restoran. Di sana ia telah membuat tempat duduk dari tumpukan pensil anak Mr. Sam.

Topi hitam ia letakkan di sana. Lalu Rudit masuk ke dapur mengambil sebutir jeruk. Jeruk itu ia gulirkan keluar. Dengan sebuah sedotan kecil, Rudit menyedot jeruk manis itu.

"Aaahhh, segar sekali!"

Tak lama Yen-Yin keluar dari bekas restoran. Wajahnya masih mengantuk. Ia masih mengenakan pakaian tidur.

"Hoaaahem... Kamu sedang berladang? Rajin sekali kamu."
"Iya, Yin. Ayo kamu juga segera mandi dan bantu aku."
"Aku malas..."

Yen-Yin kemudian menutup pintu kecil di bawah pintu dapur itu. Dia kembali masuk ke kamar dan bermalas-malasan. Rudit tersenyum kecut.

"Dasar temanku yang satu itu. Malas sekali dia."

Setelah cukup beristirahat, Rudit kembali bekerja. Semangat sekali Rudit mencangkul tanah. Rudit dan Yen-Yin suka makan ubi. Maka mereka menanam ubi di dekat bekas restoran Mr. Sam.

Tiba-tiba, ada suara perempuan yang memanggil nama Rudit. Rudit membalikkan badan.

"Haaa? Siapa itu? Kenapa tidak ada siapa-siapa?"

Suara itu kembali memanggilnya. Rudit bingung. Dia menengok ke kanan dan kiri. Tapi tidak ada siapapun di sana.

Saat itu cuaca mendadak mendung. Semua menjadi lebih gelap. Udara menjadi lebih dingin. Rudit mendadak mengigil kedinginan. Ia takut sekali.

"Aku di sini, di belakangmu."

Ternyata itu adalah sebuah umbi yang bisa berbicara. Rudit bingung, kaget, sekaligus takut. Dia belum pernah melihat umbi bisa berbicara sebelumnya. Sambil terus menggigil kedinginan, Rudit mencoba mendekati umbi itu.

"Jangan takut, Rudit. Aku adalah Uba, ratu bangsa umbi di desa ini. Kami semua senang dengan kerajinanmu bekerja, Rudit."

Rudit hanya terdiam. Ia terus melihat umbi itu sambil terkagum-kagum dan sedikit takut.

"Bangsa kami ingin memberikanmu hadiah. Apa yang sedang kamu inginkan sekarang, Rudit?"

Dengan sedikit gemetar, Rudit memberanikan diri berbicara.

"A.. A.. Aku? Aku dapat hadiah?"
"Iya, silakan kamu sebutkan satu permohonanmu."
"Oh... Baiklah."

Rudit menelah ludah. Dia bingung sekali.

"A.. Aku tidak tahu. Aku harus minta apa?"
"Tenang, Rudit. Kamu tikus yang baik. Kamu bisa minta mainan atau buku yang suka kamu baca."
"Ti.. Tidak! Aku tidak mau itu!"
"Baik, tidak apa-apa. Apa yang kamu inginkan, Rudit?"

Rudit mencoba menenangkan diri. Ia lalu teringat temannya yang malas, Yen-Yin. Ia ingin supaya Yen-Yin bisa menjadi tikus yang lebih rajin.

"Aku ingin Yen-Yin menjadi lebih rajin."
"Baik sekali kamu, Rudit. Baiklah, aku akan kabulkan permintaanmu."

Setelah itu, perlahan-lahan ubi yang bisa berbicara itu membesar. Ubi itu terus membesar dan berubah bentuk. Pelan-pelan ubi berubah menjadi seorang peri berkulit putih.

Peri itu nampak sangat cantik. Dia memakai sayap putih di bahunya. Tangan kanannya memegang tongkat putih panjang.

"Rudit, kamu tikus yang baik. Aku akan kabulkan permohonanmu. Mulai besok, kamu akan memiliki seorang teman yang lebih rajin."
"Ba... Baiklah. Te.. Ter.. Terima kasih."

Peri itu kemudian mengangkat kedua sayapnya. Ia kemudian terbang ke langit meninggalkan angin yang sejuk. Langit kembali cerah. Udara kembali panas seperti sebelumnya.

Rudit jatuh terduduk. Dia bingung sekali. Dahinya penuh keringat dingin. Jantungnya berdetak tidak beraturan.

"A.. Apa.. Apa itu tadi?"

Ia tidak melanjutkan berladang. Cangkul ia tinggalkan di ladang. Rudit langsung berlari masuk ke bekas restoran untuk menenangkan diri. Di dalam, Yen-Yin sedang menikmati camilan sambil menonton televisi. Rudit berhenti. Sambil terengah-engah, ia mencoba mengamati Yen-Yin.

"Dia masih tetap saja bermalas-malasan."

Rudit malas memikirkan itu. Dengan wajah yang masih pucat, ia langsung pergi mandi, makan segenggam umbi, lalu pergi tidur. Yen-Yin bingung melihat tingkah temannya itu.

"Kamu tidak membersihkan rumah seperti biasanya, Rudit?"

Rudit diam saja. Yen-Yin heran. Tidak biasanya Rudit tidur sore hari.

Saat itu kondisi kamar Rudit dan Yen-Yin masih berantakan. Biasanya Ruditlah yang membereskan semuanya. Namun kali ini ia tidur. Yen-Yin merasa tidak betah. Mau tidak mau ia membereskan kamar.

Yen-Yin mengambil sapu dan membersihkan lantai. Kemudian ia juga membersihkan buku dan barang-barang lain yang tersebar di lantai.

"Fiuuuh, ternyata membersihkan rumah lelah juga. Andai Rudit masih bangun, pekerjaanku akan lebih ringan."

Yen-Yin lalu berpikir. Selama ini Rudit selalu membereskan kamar sendirian sementara dia asyik bermalas-malasan. Yen-Yin mulai merasa tidak enak pada Rudit.

"Maafkan aku, kawan!"

Keesokan harinya, sekitar pukul 06.00, Yen-Yin sudah bangun tidur.

"Rudiiiiit! Bangun! Ayo kita berladang!"

Rudit kaget mendengar suara itu. Ia segera bangun dan melihat temannya itu sudah memegang topi hendak berladang.

"Ayo, Rudit! Kita garap ladang umbi kita!"

Setelah mandi, Rudit menyusul Yen-Yin pergi berladang. Mereka pun menggarap ladang bersama-sama. Rudit sangat gembira kawannya saat ini menjadi seekor tikus yang rajin.

"Terima kasih, ibu peri."

No comments:

Post a Comment