Saturday 20 August 2011

Jembatan

Tegang sekali wajah Ngatijo (50). Lipat kerutan di wajahnya basah oleh keringat akibat rasa sakit di perut dan panas matahari siang yang terlampau terik itu. Raut muka yang biasanya teduh, saat ini terlihat sangat kesakitan.
Tubuh Ngatijo dulu tegap dan lumayan kekar. Namun itu tak lagi nampak saat ini. Tubuhnya kurus sekali. Ia kelelahan dan kesakitan. Keringatnya banyak sekali. Kaus biru polosnya basah oleh keringat.

Kaki Ngatijo lemas mengayuh sepeda karatan itu. Tubuhnya miring ke kanan - kiri membantu kaki mendorong sadel sepeda. Tangannya lemah menggenggam stang.
Ngatijo menahan perih yang teramat sangat di perutnya. Ia mengerang kesakitan di tiap kayuhan. Bibirnya meringis mengerang menahan perih. Air matanya menetes tak kuat menahan sakit.


Siang itu, Ngatijo bersepeda jauh dari rumah. Ia tak tahu hendak ke mana. Pikirannya kosong. Ngatijo mengayuh sepeda di tengah jalan desa. Ratusan hektar sawah hijau mendampingi perjalanannya.

Ngatijo adalah petani lulusan SD yang tinggal di Desa Tridadi, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman, DIY. Ia tinggal di sebuah rumah kontrakan tak jauh dari jalan raya Yogyakarta - Magelang. Sederhana sekali rumah itu. Hanya berupa sebuah rumah berukuran besar yang disekat-sekat menjadi beberapa kamar. Setiap kamar ukurannya sekitar empat kali enam meter. Di salah satu kamar itu Ngatijo tinggal bersama keluarganya.



Dia memiliki seorang istri, Sutijah (40) dan dua orang putra yang masih bocah, Slamet (10) dan Nur Fitri (7). Ngatijo terlambat kawin. Usia 38 tahun ia baru menikahi istrinya.


Beberapa tahun yang lalu, dokter puskesmas memvonis Ngatijo mengidap penyakit. Entah apa nama penyakit itu, Ngatijo sendiri tidak paham. Ia merasakan sakit pada perut kirinya. Awalnya hanya sesekali. Tapi belakangan sakit itu bertambah sering. Kelamaan rasa sakit itu menyebar. Perut depan sampai belakangnya sekarang sakit. Perih sekali.

Sejak saat itu, Ngatijo tidak lagi bertani. Ia cuma merintih sakit di atas kasur. Buang air pun ia harus minta tolong.

Ngatijo sedih sekali, sebagai bapak, ia tidak bisa menafkahi keluarganya. Sejak tahu dirinya sakit, Ngatijo pernah beralih profesi menjadi supir angkutan kota. Ia pikir menjadi supir tidak membutuhkan terlalu banyak aktivitas fisik. Beberapa bulan menyupir, penyakitnya bertambah parah. Ia terpaksa keluar.

Sejak saat itu, Sutijah menjadi tulang punggung keluarga. Setiap pagi ia memandikan Ngatijo dan membantunya buang air. Bau sekali kotoran Ngatijo di dalam ruang kontrakan yang pengap itu. Ia lalu mengantar dua anaknya ke sekolah lalu pulang dan pergi bertani. Sutijah baru pulang pada sore hari. Ia kemudian memasak makanan untuk Ngatijo dan anak-anak. Malam hari, Sutijah pergi lagi. Mengenakan kemeja oren, ia pergi menjaga parkir sepeda motor di warung kaki lima yang ramai di dekat jalan raya. Begitu terus setiap harinya. Ngatijo merasa sangat menyesal telah menyusahkan Sutijah.


Sambil tiduran di atas kasur, Ngatijo pernah memprotes kondisinya pada Tuhan. Ia merasa tidak kuat menahan rasa sakit itu setiap hari. Ngatijo pernah menuliskan perasaannya itu di atas kertas putih bekas robekan buku sekolah Slamet. Sederhana sekali isi tulisannya, namun itulah isi terdalam hati seorang Ngatijo, ‘Gusti, kulo langkung sae dipejahke mawon’ (Tuhan, lebih baik aku mati saja).

Kertas itu ia lipat kecil, kemudian ia lemparkan ke jendela di samping kasur setinggi-tingginya. Tuhan ada di atas, maka kertas ini harus dilempar tinggi, begitu pikir Ngatijo. Baik istri maupun kedua anak Ngatijo tidak tahu menahu tentang surat itu. Memang begitulah yang Ngatijo inginkan.


Pagi itu, sebelum pergi dari rumah, Ngatijo bangun tidur dengan sangat lega. Ia heran, kenapa perasaannya bisa senyaman itu. Sakit di perutnya masih terasa, ia juga masih mengerang kesakitan. Namun hatinya tenang. Saat itu Sutijah sudah pergi berladang. Ngatijo mencoba bangun. Aneh, ia dapat bangun dari tidur dengan mudah. Tangan kanan Ngatijo menekan perut kirinya. Sakit sekali rasanya. Sambil terbungkuk, perlahan ia berjalan menjauhi kasur.

Ngatijo merasa sungguh tenang. Pagi itu ia merasa yakin akan suatu hal. Ia merasa Tuhan menjawab permohonannya. Ia yakin hari itu juga akan segera mendapatkan ketenangan. Ngatijo tidak takut. Ia justru sangat senang.

Sambil terus memegangi perut, Ngatijo berjongkok dan bersujud. Ia kemudian berdoa,”Matur nuwun, Gusti pun maringi kawulo gesang ingkang awrat. Kawulo nyuwun keluargo ingkang bade kulo tilar, tansah kaampingan (Terima kasih Tuhan, kau telah berikan aku hidup yang keras. Dampingi keluargaku selalu),”


Tak jauh dari sana, Ngatijo melihat sebuah jembatan besar. Jembatan itu mempunyai rangka baja abu-abu kekar. Ia berhenti di tepi jembatan. Sepeda reyot itu ia tinggal di tepi jalan yang sepi kendaraan. Ngatijo berjalan ke tepi jembatan, memandangi kali kering di bawah ujung sandal tipisnya.
Sama sekali tidak ada air mengalir di bawah jembatan, cuma ada bebatuan besar kecil sisa erupsi Gunung Merapi akhir tahun lalu. Pemandangan itu berbeda sekali dengan beberapa bulan sebelumnya, saat banjir lahar dingin menghancurkan banyak desa di Sleman. Waktu itu air mengalir luar biasa deras, menghantam apapun yang menghalanginya.

Sakit di perut Ngatijo makin menjadi. Nafasnya tak lagi beraturan. Sesak sekali rasanya. Ia tak dapat menarik napas dalam sebab menyakiti perutnya. Nafasnya pendek-pendek. Pandangannya makin kabur. Sakit sekali kepalanya. Ia berpegangan di pembatas jembatan dengan satu tangan, tangan lainnya untuk memegangi perutnya yang luar biasa perih.

Telinga Ngatijo mendengung. Ada suara dengungan keras yang berulang-ulang di kedua telinganya. Sakit kepalanya semakin menjadi. Ia tak lagi bisa mengerang. Bibirnya tak sanggup membuka lagi. Lidahnya lemas bahkan untuk menelan ludah.
Ngatijo kehausan dan kepanasan. Ia ingin minum air putih hangat seperti biasa Sutijah bawakan untuknya. Mendadak ia rindu kedua anaknya yang masih kecil. Kenangan akan keluarganya mendadak muncul di benaknya. Gambar kenangan akan pernikahannya, kehadiran Slamet dan Nur Fitri di kehidupannya, pertama kali ia jatuh sakit, hingga pagi hari yang ia rasakan sangat tenang, muncul semua di pikirannya. Cepat sekali semua kenangan itu muncul lalu pergi.


Mendadak ada sosok laki-laki persis di depan hidung Ngatijo. Sosok laki-laki tua itu terhuyung maju ke tepi jembatan. Pinggang laki-laki itu menabrak pembatas jembatan. Tubuhnya terus terhuyung ke depan. Kaki laki-laki tua itu terangkat. Sebuah sandal terlepas dari kakinya. Tubuhnya terjatuh ke sungai di bawah jembatan.
Ngatijo kaget sekali. Kejadian itu begitu cepat hingga ia tak bisa menolong laki-laki malang itu. Ia segera mendekat ke tepi jembatan dan melihat ke bawah. Laki-laki itu mati. Kepalanya membentur batu besar hingga darah menggenang.
Sejenak Ngatijo terdiam. Ia tidak lagi merasakan sakit. Kepalanya sudah ringan, perutnya juga sudah baik-baik saja. Aneh, pikirnya.

Ia menengok ke bawah lagi. Laki-laki itu mengenakan pakaian yang persis sama dengan dirinya. Wajah dan bentuk badannya juga sama. Ngatijo memandangi lama wajah laki-laki itu. Ia sudah lupa pada rasa sakit di tubuhnya. Saat ini ia merasa sangat tenang. Hatinya lega dan pikirannya tidak kalut lagi.

Dua orang warga di pinggiran sungai melihat tubuh itu. Mereka langsung berteriak memanggil warga lainnya. Warga mencoba membangunkan tubuh itu. Tapi percuma, tubuh itu sudah tak bernyawa. Tubuh penuh penyakit itu langsung mereka bawa ke tepi sungai. Beberapa warga langsung menghubungi pejabat desa setempat dan petugas kepolisian. Seorang mengenali tubuh itu. Ia bergegas lari ke arah Desa Tridadi hendak mengabari kejadian itu pada Sutijah.

Di atas jembatan, Ngatijo sudah hilang. Ia tidak ada lagi di dunia ini. Perjalanannya mendampingi Sutijah, Slamet, dan Nur Fitri sudah selesai. Perasaan menyesalnya akibat merepotkan Sutijah sudah tiada. Dunia kehilangan lagi satu orang kecil yang sangat menyayangi anak istrinya.

5 comments:

  1. Bagus sekali, sangat menyentuh :)

    ReplyDelete
  2. terima kasih telah membaca.. terima kasih juga untuk komentarnya.. salam kenal..

    ReplyDelete
  3. sip nug, aku kira Ngatijo akan bunuh diri
    ternyata tidak. good job.

    ReplyDelete
  4. hahaha! hiks.. hiks... kamu kejam, mbek... makasih sudah membaca dan ikut merasakan, mbek!

    ReplyDelete
  5. Ngatijo ki tanggane pak Bero du nug?
    ketoke aku ngerti.

    ReplyDelete